Jumat, 16 September 2011

Shalat istikharah untuk menentukan pilihan

Saudara dan saudariku yang budiman, pernikahan adalah ikatan yang mempertalikan antara kedua pasangan suami-isteri. Memperhatikan supaya memilih isteri atau suami yang tepat adalah fase terpenting dalam permulaan pernikahan, dan dalam hal ini diperlukan kesungguhan yang mendalam untuk mendapatkan suami atau isteri yang tepat dari segala aspeknya. Siapa yang ingin ni'kah, hendaklah dia memilih pendamping hidupnya dengan 
pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir ra, ia menuturkan: Rasulullah mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
`Jika salah seorang dari kalian menghendaki suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu, kemudian hendaklah mengucapkan: 'Ya Allah, aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku meminta penilaian-Mu dengan kemampuan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dari karunia-Mu yang sangat besar. Sesungguhnya Engkau kuasa sedangkan aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku-, maka putuskanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, baik dalam urusan agamaku, kehidupanku maupun kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku- maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya serta putuskanlah yang terbaik untukku di mana pun berada, kemudian ridhailah aku dengannya.' Dan hendaklah is menyebutkan hajatnya.'' (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai dan lainnya) 

Di sini ada beberapa perkara penting yang wajib kita perhatikan:
  1. Istikharah dilakukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid, atau setelah shalat sunnah lainnya).
  2. Do'a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.
  3. Boleh mengulang-ulang istikharah, karena ini adalah do'a, dan mengulang-ulang do'a adalah dianjurkan.
  4. Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang dengan pilihannya, maka tujuan istikharah telah terpenuhi. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulangi istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.
  5. Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.
  6. Ibnu `Umar radhiallahu’anhuma berkata: Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta'ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya, Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah).'

shalat dhuha yang begitu menakjubkan

Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.[1]
Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ
Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.”[2]
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,
أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »
“Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3]
An Nawawi mengatakan,  “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.”[4]
Asy Syaukani mengatakan,  “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5]
Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ الْغَطَفَانِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ ».
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.[6]
Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.”[7]
Hukum Shalat Dhuha
Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,
أَوْصَانِى خَلِيلِى - صلى الله عليه وسلم - بِثَلاَثٍ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.[8]
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”[9]
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. 

Larangan Mengadakan Kajian Sebelum Shalat Jum’at Dimulai

Pertanyaan : Apa hukum memberi tausiyah, mauidhoh (kajian) pada hari jum’at sebelum shalat jum’at di mulai?
Jawaban : Tidak seyogyanya memberi tausiyah, mauidhoh (kajian) pada hari jum’at sebelum pelaksanaan sholat jum’at di mulai. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasai, At Tirmidzi dari sahabat Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya ” bahwasannya Rasullullah Shallallahu’alaihi wa Sallam melarang membuat halaqoh (kajian-kajian) sebelum sholat jum’at “.
Halaqoh artinya kelompok belajar (kajian), mudzakaroh.
Membuat kumpulan yang seperti ini di larang, karena dapat menyibukkan
seseorang dari mengingat Allah, membaca Al-Qur’an, shalat sunnah, meyiapkan barisan sholat, serta membuat lupa seseorang bersiap-siap untuk mendengarkan khutbah jum’at, padahal khutbah jum’at merupakan perintah Alloh Ta’ala melalui Rasullullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Kajian dan Tausiyah sebelum melaksanakan sholat jum’at apabila sering
di lakukan dapat menghilangkan ruh atau nilai daripada keutamaan jum’at pada jiwa seseorang. Demikian juga hal itu dapat menghilangkan hikmah disyari’atkannya khutbah jum’at. Sesungguhnya apabila seseorang
memperhatikan sholat jum’at kemudian memilih khotib yang bagus,maka
khutbah tersebut sudah mewakili kajian – kajian atau halqoh yang diadakan sebelum sholat jum’at.
Perlu diketahui juga bahwasannya Rasullullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan Khulafaurrasyidin tidak pernah melakukannya, perbuatan baik adalah mengikuti contohnya Rasullullah dan Khulafaurrasyidin (Semoga Alloh selalu meridhoinya).

Dakwah Salafiyah Istilah Yang Syar’i, Bukan Hizbi!!


Abdul Karim as Sam’ani mengatakan, “Salafi, dengan huruf sin dan lam yang difathah dan diakhiri huruf fa’. Ini merupakan penisbatan kepada kaum Salaf dan metode yang mereka tempuh.”
Imam as Safarini berkata, “Yang dimaksud dengan mazhab Salaf adalah ajaran yang diwariskan oleh para sahabat yang mulia ridhwanullahi ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, para pengikutnya, dan juga para ulama pemimpin agama yang telah dipersaksikan keimamannya dan dikenal kedudukannya yang mulia dalam agama. Kaum muslimin dari generasi ke generasi telah menerima ucapan-ucapan mereka. Mereka bukanlah golongan yang layak dituduh menyebarkan bid’ah atau orang-orang yang dikenal dengan julukan yang tidak diridai, seperti halnya: Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan golongan lain seperti mereka.”
Syaikh Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Salaf adalah orang-orang (para sahabat) yang hidup di generasi yang diutamakan (oleh Allah). Barang siapa yang mengikuti jejak mereka dan berjalan di atas manhaj mereka maka dia adalah seorang Salafi. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka dalam perkara itu maka dia tergolong kaum Khalaf.”
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali hafizhahullah mengatakan di dalam kitabnya Limadza ikhtartu al manhaj as salafi, “Dengan demikian tampak jelas bahwa istilah Salaf ketika dilontarkan begitu saja tidaklah merujuk kepada keberdahuluan masa semata. Akan tetapi istilah itu merujuk kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para pengikut setia mereka.”
Beliau juga mengatakan, “Dengan sudut pandang ini maka istilah Salaf telah menjadi sebuah ketetapan umum yang diberikan kepada siapa saja yang menjaga keselamatan akidah dan manhaj yang berpijak pada pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.”
Beliau mengatakan, “Adapun Salafiyah adalah penyandaran diri kepada generasi Salaf. Ini merupakan penisbatan terhadap manhaj yang lurus dan sesuatu yang terpuji. Ini bukan termasuk tindakan menciptakan mazhab yang baru.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Bukanlah perbuatan yang tercela apabila seseorang berterus terang menampakkan mazhab Salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia (tidak minder) dengan hal itu. Bahkan hal itu wajib diterima dengan kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya (apa yang diyakini) mazhab Salaf itulah kebenaran.”
Syaikh Shalih al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Kaum Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj mereka senantiasa membedakan antara kelompok pengikut Sunnah dengan kelompok lainnya yaitu ahli bid’ah dan sekte-sekte sesat. Mereka menyebut kelompok orang semacam ini dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ucapan dan karya-karya para ulama pengikut manhaj Salaf dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan seperti itu. Mereka berusaha membantah berbagai sekte yang menyempal dari Firqah Ahlus Sunah wal Jama’ah dan pengikut Salaf.”
Saya (Syaikh Hisyam -pent) mengatakan: Musuh-musuh dakwah Salafiyah berusaha mengesankan kepada masyarakat bahwa Salafiyah adalah dakwah yang memiliki sekat pemisah tertentu yang menyisihkan diri mereka dari kaum muslimin yang lain. Padahal sebenarnya dakwah salafiyah tidak lain adalah dakwah yang diserukan Allah ta’aladan dakwah Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta dakwah para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan dakwah para pengikut setia mereka hingga hari kiamat tiba. Dengan itu maka jelaslah bagi anda bahwa penamaan dakwah ini dengan dakwah salafiyah adalah penamaan yang syar’i bukan hizbi (yang membela kepentingan kelompok tertentu, pen), sebab dakwah ini senantiasa tegak di atas ilmu yang bermanfaat yang dipahami dengan pemahaman para Salafush Shalih.”
[Diterjemahkah dari sebuah pasal berjudul ad Da'wah as Salafiyyah Mushthalahun Syar'iyyun wa Laisa Mushthalahan Hizbiyyan yang terdapat dalam risalah Da'watuna Salafiyyatan la Hizbiyyatan, karya Syaikh Hisyam bin Fahmi al 'Arif yang di muraja'ah oleh Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari hafizahumallah


Benarkah lafal “وَكَبِّرُوْا” (bertakbirlah) dimaksudkan dengan  sebagaimana pada Hari Raya? Mereka mengucapkan kalimat tersebut sebelum pelaksanaan  gerhana, dengan dasar hadis,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوْا وَصَلُّوْا وَتَصَدَّقُوْا….
Jika kalian melihat hal tersebut (gerhana), maka hendaklah kalian berdoa kepada Allah, bertakbir, shalat, dan bersedekah .…” (HR. Bukhari)

Jawaban:
Sepanjang yang kami ketahui, para ulama mengartikan perintah takbir di dalam hadis itu dengan ucapan “Allahu Akbar”, bukan dengan takbiran sebagaimana takbiran pada Hari Raya. Penulis kitab ‘Aunul Ma’bud Syarh Abi Daud berkata, “(Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) وَكَبِّرُوْا (bertakbirlah), yaitu agungkanlahAr-Rabb atau katakanlah ‘Allahu Akbar‘.” (‘Aunul Ma’bud, hadis no. 1191). Wallahu a’lam bish-shawab.

TAKBIRAN


a. Takbiran Idul Fitri
Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.
Hal ini berdasarkan dalil berikut:
1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.
2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)
Keterangan:
1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.
2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
  • Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
  • Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalamAhkam al Idain)