Jumat, 19 Agustus 2011

Waktu Pembayaran Fidyah

Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua[14].
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.[15]

Fidyah tidak boleh di ganti dengan uang


Perlu diketahui bahwa tidak boleh fidyah yang diwajibkan bagi orang yang berat berpuasa diganti dengan uang yang senilai dengan makanan karena dalam ayat dengan tegas dikatakan harus dengan makanan. Allah Ta’ala berfirman,
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.
Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Mengeluarkan fidyah tidak bisa digantikan dengan uang sebagaimana yang penanya sebutkan. Fidyah hanya boleh dengan menyerahkan makanan yang menjadi makanan pokok di daerah tersebut. Kadarnya adalah setengah sho’ dari makanan pokok yang ada yang dikeluarkan bagi setiap hari yang ditinggalkan. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg. Jadi, tetap harus menyerahkan berupa makanan sebagaimana ukuran yang kami sebut. Sehingga sama sekali tidak boleh dengan uang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Membayar fidyah dengan memberi makan pada orang miskin.” Dalam ayat ini sangat jelas memerintah dengan makanan.”[9]

Sehat Dengan Puasa

Bulan Ramadhan yang penuh berkah menyimpan banyak manfaat bagi kaum muslimin yang menjalankan puasa ramadhan. Salah satu manfaat yang dapat diraih, ialah sehatnya badan dengan berpuasa. Banyak orang telah membuktikan, badan terasa lebih sehat dan bugar ketika menjalanan puasa, orang-orang yang sedang sakitpun tidak ketinggalan ikut merasakan manfaatnya, yaitu penyakitnya membaik dan dapat terkontrol. Dengan berpuasa ternyata banyak keuntungan yang diperoleh tubuh, yang tidak didapat ketika seseorang sedang tidak menjalankan puasa.

PENYAKIT DAPAT TERKONTROL DENGAN PUASA

1. Sakit maag.
Seseorang dengan sakit maag karena kelainan fungsional, pola makannya akan lebih teratur selama puasa Ramadhan. Pada saat sahur dan berbuka, ia akan menghindari camilan-camilan yang mengandung coklat, keju, makanan berlemak dan berminyak; yang dalam hal ini baik bagi penyembuhan sakit maagnya. Selain mengkonsumsi makanan camilan yang kurang sehat untuk lambung, selama berpuasa juga akan mengurangi minuman yang mengandungsoda kopi dan alkohol serta rokok. Selama berpuasa, ia juga akan lebih mengendalikan diri, terutama mengendalikan stres, yang merupakan faktor dominan dalam menimbulkan gangguan pada lambung penderita maag karena kelainan fungsional. Makan secara teratur disertai berkurangnya konsumsi makanan camilan dan minuman yang tidak sehat untuk lambung, serta mengendalikan diri dari stres, merupakan faktor penting yang membuat kondisi penderita sakit maag membaik selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

2. Kegemukan, kencing manis, kolesterol tinggi,tekanan darah tinggi dan asam urat.
Selama puasa Ramadhan akan terjadi pengurangan asupan makanan, sehingga kita dapat mengurangi berat badan sekitar 5 %. Penelitian membuktikan, asupan kalori orang yang berpuasa akan berkurang selama menjalankan puasa, dan hal ini akan mengontrol berat badannya. Berbagai penyakit metabolik, seperti kegemukan (obesitas), penyakit kencing manis (Diabetes Mellitus/DM), kadar kolesterol dan trigliserida tinggi (dislipidemia), tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kadar asam urat tinggi (hiperurisemia), akan lebih baik dan terkontrol jika seseorang yang mengalami penyakit tersebut dapat mengendalikan berat badannya. Puasa Ramadhan merupakan kesempatan yang baik bagi mereka dengan penyakit kronis ini untuk mengendalikan penyakitnya.

3. Penyakit persendian.
Seseorang yang mengalami gangguan pada sendi berupa pengapuran (osteoartritis), terutama pada sendi lutut dan sendi tulang belakang, maka dengan terjadinya pengurangan berat badan, juga akan membantu memperbaiki gangguan sendi yang terjadi. Jelaslah, jika puasa Ramadhan dilaksanakan dengan baik, maka berat badan dapat dikontrol dan dikurangi, sehingga akan memperbaiki keadaan penyakit kronis yang ada. Tetapi tentunya, hal ini dapat terwujud jika kaidah-kaidah selama puasa dapat dilaksanakan dengan baik, yaitu tidak makan dan minum yang berlebih-lebihan, serta banyak mengkonsumsi buah dan sayur-sayuran, serta melakukan kegiatan olah raga ringan. Salah satu aktifitas fisik yang sangat baik, yaitu melaksanakan shalat tarawih yang bermanfaat membantu membakar lemak di dalam tubuh jika dilakukan secara rutin. Shalat malam mempunyai manfaat meningkatkan perubahan respon ketahanan tubuh imunologik. Yaitu ketika shalat malam dilakukan dengan tepat, khusyuk, ikhlas, dan kontinyu (terus-menerus). Shalat malam juga mampu menurunkan sekresi (pengeluaran) hormon kortisol, yaitu hormon yang digunakan sebagai tolak ukur stress dan homeostasis tubuh.

MENGATUR POLA MAKAN DENGAN BIJAKSANA
Ada beberapa hal yang perlu diketahui, supaya makanan yang kita konsumsi selama bulan puasa dapat menyehatkan badan dan bukan sebaliknya. Hal-hal berikut ini, hendaklah perlu diterapkan untuk mengatur pola makan selama bulan puasa.

1. Perbanyak konsumsi makanan berserat, dan jangan makan berlebihan saat sahur.
Sahur sangat penting untuk mendukung kelancaran ibadah puasa. Makanan yang disantap saat sahur, akan menjadi cadangan energi selama berpuasa. Oleh karena itu, usahakan tidak meninggalkan sahur ketika akan berpuasa, karena juga terdapat berkah dalam makan sahur. Dalam hadits dari Anas Ibnu Malik rahimahullah , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makan sahur itu ada berkahnya”. (Muttafaqun ’alaih).

Makanan berserat akan memperlancar proses pengeluaran racun dari dalam tubuh dan dapat mengurangi konsentrasi radikal bebas dalam tubuh, hingga sel-sel tubuh menjadi lebih segar dan elastis. Disamping itu, hendaklah tidak makan berlebihan saat sahur, karena dapat menyebabkan melonjaknya kadar gula dalam darah, serta merangsang keluarnya hormon insulin secara berlebihan. Hormon insulin ini akan mengangkut gula darah ke seluruh jaringan tubuh guna diubah menjadi glikogen atau lemak. Apabila kita makan terlalu banyak, maka glikogen dan lemak yang dihasilkan juga berlebihan. Padahal, lemak yang berlebihan sukar diuraikan menjadi gula darah kembali. Akibatnya, seseorang yang makan berlebihan saat sahur tidak bertambah segar, tetapi justru semakin merasa lesu.

2. Perbanyak mengkonsumsi air.
Usahakan tetap mengkonsumsi air delapan gelas setiap harinya. Caranya, antara lain dengan meminum sekitar 2 gelas saat buka puasa, lalu setelah tarawih hingga menjelang tidur, minum lagi sebanyak 3-4 gelas. Sedangkan pada saat sahur, kita bisa minum sebanyak 2 gelas lagi. Minum air tidak selalu berarti air putih saja, tetapi minum teh, susu, sari buah, bahkan kuah sayur juga termasuk dalam jumlah air yang kita konsumsi.

3. Berbuka puasa secara sehat.
Segerakan berbuka ketika waktunya telah tiba, seperti disebutkan dalam salah satu hadits dari Sahal Ibnu Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang-orang akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”. [Muttafaqun ’alaih].

Syari’at Islam yang sempurna telah mengajarkan supaya tidak memberat-beratkan diri dengan menunda berbuka puasa, padahal waktunya telah tiba. Karena hal ini akan berdampak buruk pada kesehatan, terutama pada organ lambung. 

Pada saat berbuka puasa, sebaiknya tidak langsung makan dan minum terlampau banyak. Berbuka puasa dengan makanan berat dalam jumlah banyak, justru memberatkan kerja lambung yang sudah dibiarkan beristirahat sekitar 12 jam. Jangan sampai menjadikan waktu berbuka puasa sebagai ajang “balas dendam” setelah seharian menahan lapar dan haus. Hindari langsung meminum air es atau minuman dingin, karena hal ini dapat menekan rasa lapar. Sebaiknya makan dan minum yang manis saat berbuka (disunnahkan berbuka dengan kurma), dan makan makanan ringan yang mudah dicerna. Setelah kadar gula darah berangsur-angsur kembali normal, lakukan shalat Maghrib. Selang setengah jam kemudian, makanlah menu lengkap secukupnya. Setelah shalat tarawih, anda dapat makan lagi, jika masih merasa lapar. Bagi para ibu rumah tangga, menyajikan menu berbuka bagi keluarga tentu sangat menyenangkan. Dan alangkah lebih bijaksana, jika para ibu menyiapkan menu yang sehat dan bergizi untuk menunjang kelancaran ibadah puasa seluruh anggota keluarga.

MENGKONSUMSI SUPLEMEN SELAMA PUASA
Setiap orang tentu menginginkan bisa tetap aktif saat puasa dan tetap fit sepanjang hari. Dengan alasan itu, muncul kecenderungan untuk mengkonsumsi suplemen vitamin. Namun perlu diingat, vitamin bukanlah makanan pengganti (subtitusi). Yang penting, kita harus makan makanan sehat dan bergizi, sehingga kebutuhan vitamin tercukupi lewat makanan yang bervariasi. Kita, hendaklah tidak meminum vitamin sembarangan, tetapi konsultasikan dulu kepada dokter. Sebagian besar orang tidak mengetahui berapa kebutuhan dirinya akan vitamin dan mineral. Padahal ada vitamin-vitamin yang larut dalam lemak, seperti vitamin A, D, E, serta K, yang jika dikonsumsi berlebihan akan tersimpan dalam tubuh dan bisa berbahaya bagi metabolism tubuh.

Kita tahu makanan alami tentu saja lebih aman. Karbohidrat diperoleh dari nasi, kentang, mie, jagung, dan lainnya, yang biasanya dijadikan menu makanan pokok. Sementara sumber protein ditemukan dalam makanan, seperti daging, ikan, tempe, tahu, ayam, dan sebagainya. Sedangkan sumber vitamin dan mineral ada pada sayuran dan buah-buahan berwarna kuning, hijau tua, atau merah.

BEROLAHRAGA SELAMA PUASA
Kondisi fisik seseorang yang sedang berpuasa memang cenderung lemas karena menahan lapar dan haus. Namun demikian, hal itu bukan menjadi alasan untuk tidak berolah raga. Bagaimana pun,olahraga itu penting untuk menjaga kebugaran dan vitalitas tubuh. Satu hal yang perlu diingat, semua harus direncanakan, sehingga tidak menimbulkan efek buruk bagi tubuh.

Bagi orang yang terbiasa berolahraga kemudian berhenti mendadak karena puasa, justru bisa menimbulkan masalah. Minimalnya, otot tubuh yang semula sudah terbentuk jadi merosot lagi. Biasanya seseorang yang terbiasa berolahraga mempunyai selera makan yang bagus. Sehingga bila mendadak berhenti berolah raga tidak akan ada lagi pembakaran glikogen. Akibatnya, berat badan akan naik dan mudah terserang penyakit. Oleh karena itu, pada saat puasa usahakan untuk tetap berolah raga. Olah raga yang sifatnya aerobic merupakan jenis olahraga yang baik saat bulan puasa. Seseorang yang berpuasa tidak dianjurkan berolah raga sampai tenaganya terkuras habis, atau sampai badan menjadi lelah. Melakukan olah raga yang ringan saja sudah cukup, seperti jogging atau senam.

Idealnya, olah raga dilaksanakan dua jam setelah berbuka puasa. Pada saat itu, perut sudah mulai kosong. Sebab, olah raga yang dilakukan dalam keadaan perut penuh, hasilnya justru kurang bagus. Olah raga juga bisa dilakukan satu jam atau 30 menit menjelang waktu berbuka, supaya pada saat waktu berbuka tiba, kita bisa segera minum untuk menghilangkan dahaga. Sebaliknya, kurang tepat apabila olah raga dilakukan setelah makan sahur karena perut dalam keadaan kenyang. Disamping mengganggu organ pencernaan, olah raga setelah makan sahur juga melelahkan dan menimbulkan rasa haus.

PENUTUP
Demikianlah, penjelasan singkat seputar puasa dan kesehatan. Tentunya kita perlu mempersiapkan diri untuk menyambut bulan Ramadhan. Kondisi tubuh yang fit, insya Allah akan semakin menunjang kelancaran ibadah puasa. Siapakah yang tidak ingin bertambah sehat setelah menjalankan ibadah puasa, apalagi ditambah dengan sembuhnya penyakit-penyakit yang diderita?! Kita hendaklah berusaha menjalankan puasa secara sehat, baik ketika makan sahur, beraktifitas selama puasa, dan saat berbuka puasa.

Selamat menjalankan ibadah puasa. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa melimpahkan nikmat kesehatan pada kita semua. (dr. Avie Andriyani)

Sumber:
1. Penelitian Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.
2. Dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD, Antisipasi Penyakit Pasca Lebaran, Surabaya.
3. Muhammad Sholeh, Tahajud, Manfaat Praktis Ditinjau dari Ilmu Kedokteran, Penerbit Forum Studi HIMANDA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Sucikanlah Hartamu dengan Zakat


Kaum muslimin yang semoga selalu mendapatkan rahmat Allah. Sesungguhnya zakat merupakan perkara penting dalam agama Islam sebagaimana shalat 5 waktu. Oleh karena itu, Allah Ta’ala sering mengiringi penyebutan zakat dalam Al Qur’an dengan shalat agar kita tidak hanya memperhatikan hak Allah saja, akan tetapi juga memperhatikan hak sesama dengan mengurangi beban saudara-saudara kita yang tidak mampu melalui zakat.
Namun saat ini kesadaran kaum muslimin untuk menunaikan zakat sangatlah kurang. Di antara mereka menganggap remeh rukun Islam yang satu ini. Ada yang enggan menunaikannya karena rasa bakhil dan takut hartanya akan berkurang. Padahal di balik syari’at zakat ini terdapat faedah dan hikmah yang begitu banyak, yang dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Di antara faedah dan hikmah tersebut adalah:
1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang lima. Apabila seseorang melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang amat agung dan setiap muslim pasti selalu berusaha agar keislamannya menjadi sempurna.
2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh hati. Sesuatu yang dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan. Oleh karena itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang berasal dari kata shidiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat akan menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan zakatnya tersebut.
3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muslim). Wahai saudaraku, sebagaimana engkau mencintai jika ada saudaramu meringankan kesusahanmu. Begitu juga seharusnya engkau suka untuk meringankan kesusahan saudaramu. Maka pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang.
4. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah karena melihat orang kaya hidup mewah. Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka (dengan berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau. Tidak ragu lagi, pasti akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen) pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma pada mereka, maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui kami berada dalam kesusahan”. Maka orang miskin tersebut akan suka dan timbul rasa cinta kepada orang kaya yang berderma tadi.
5. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan perampasan. Karena dengan zakat, sebagian kebutuhan orang yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga hal ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya atau berbuat jahat kepada mereka.
6. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya, ”Sedekah tidaklah mengurangi harta” (HR. Muslim).
7. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Tidaklah suatu kaum enggan menunaikan zakat dari hartanya, melainkan Allah juga akan enggan menurunkan hujan dari langit.” (Shohih, HR. Ibnu Majah)
8. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.” (Shohih, HR. Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah)
(Faedah-faedah di atas kami ringkaskan dari Kitab ‘Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -rahimahullah-)
Jika telah mencapai nishab dan haul, segeralah tunaikan zakat.
Kaum muslimin -yang selalu mengharapkan kebaikan dan mengharapkan surga Allah- segeralah tunaikan zakat yang wajib bagi kalian agar memperoleh berbagai faedah di atas. Ingatlah bahwa zakat bukanlah wajib ditunaikan hanya ketika akhir bulan Ramadhan saja berupa zakat fitri. Akan tetapi, zakat itu juga wajib bagi 5 kelompok harta yaitu: emas, perak, keuntungan perdangan, hewan ternak (yaitu unta, sapi, dan domba), dan hasil bumi (berupa tanaman, dll). Kelima kelompok harta tersebut ditunaikan ketika sudah mencapai nishab, yaitu ukuran tertentu menurut syari’at) dan telah mencapai haul, yaitu masa 1 tahun (kecuali untuk zakat anak hewan ternak dan zakat tanaman).
Wahai saudaraku, segeralah tunaikan zakat sebagai kewajiban bagi kalian di amil-amil zakat ketika telah memenuhi syarat nishab dan haul-nya. Berlombalah dalam kebaikan dan ingatlah selalu nasib saudaramun yang berada dalam kesusahan. Sesungguhnya dengan engkau mengeluarkan zakat akan meringankan beban mereka yang tidak mampu. Ingat pula, sebab bangsa ini sering tertimpa berbagai macam bencana dan cobaan adalah disebabkan kita enggan melakukan ketaatan kepada Allah, di antaranya kita enggan untuk menunaikan zakat.
Semoga Allah selalu menganugerahi kita untuk selalu istiqomah dalam melakukan ketaatan kepada-Nya. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Jadilah Mukmin Yang Kuat!


Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Apabila sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim [2664] lihat Syarh Nawawi, jilid 8 hal. 260).
Hadits yang mulia ini menunjukkan :
Pertama; Allah ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat, kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat [imannya] lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah [imannya]. Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal; [1] ilmu yang bermanfaat, [2] beramal salih, [3] saling mengajak kepada kebenaran, dan [4] saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini.
Kedua; kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama; kaum As-Saabiqun ilal Khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunnah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua; kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga; Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek.
Ketiga; perkara yang bermanfaat ada dua macam; perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut. Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2; ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan ruh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam ilmu hadits, tafsir, dan fiqih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal salih adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi orang berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”
Keempat; dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya.
Kelima; apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa ridha dengan takdir Allah ta’ala. Tidak perlu berandai-andai, karena dalam kondisi semacam itu berandai-andai justru akan membuka celah bagi syaitan. Dengan sikap semacam inilah hati kita akan menjadi tenang dan tentram dalam menghadapi musibah yang menimpa.
Keenam; di dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kedua hal itu. Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu” merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia, bahkan di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah” merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudharatan dengan penuh rasa harap kepada Allah ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna.
Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Alkhbar karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46.

Shalat dan Berdoa di Kuburan


“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rezeki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.
Kepada siapa meminta? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.
Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun, yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat!
PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian ulama mengategorikannya dosa besar.[1] Praktik ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah, agama kita melarang praktik tersebut. Amat banyak nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya:
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (H.R. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsadradhiallahu ‘anhu)
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[2]
Al-‘Allâmah al-Munawy rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.”[3]
Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’any rahimahullah (w. 1182 H).[4]
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma)
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.
Imam al-Baghawy rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.”[5]
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H)[6] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H).[7]
Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.”[8]
Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. (H.R. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[9], Ibnu Taimiyyah rahimahullah [10] dan al-Albâni.[11]
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan, bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan. [12]
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah[13] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [14].
4. Doa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka masjid. [15]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktik para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar![16]
5.  Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. (H.R. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan, bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.”[17]
Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).”[18]
Hikmah di balik terlarangnya shalat di kuburan.
Para ulama Islam sepakat, bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[19] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah(sebab) terlarangnya perbuatan tersebut;[20]
Sebagian ulama memandang, bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia.
Adapun ulama lainnya berpendapat, bahwa sebabnya adalah karena kekhawatiran akan terjerumusnya umat ini ke dalam kesyirikan.
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram (w. 273)[21], al-Mawardy (w. 450 H)[22], Ibn Qudamah[23], Ibn Taimiyyah (w. 728 H)[24], as-Suyuthy (w. 911 H)[25] dan yang lainnya.
Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindak menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuthy memperjelas, “Inilah sebab mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau di bawahnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’,tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Bentuk peribadahan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; masjid! …
Inilah mafsadah yang sumbernya dicegah oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Hingga beliau melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu yang menghantarkan kepada kerusakan pemicu disembahnya berhala.”[26]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nash. Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau paparkan:
Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.
Tempat masjid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh melarang bumi untuk memakan jasad mereka.[27]
Berbagai jenis orang yang shalat di kuburan dan hukum masing-masing:
Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk sahibul kubur.
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar; karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala menegaskan,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh. Maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh.” Q.S. Al-Jinn: 18.
Kedua: Shalat di kuburan dengan tujuan ber-tabaruk dengan tempat tertentu darinya.
Ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak, karena itu termasuk mengada-ada dalam praktik beribadah.
As-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak dizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[28]
Ibn Hajar al-Haitamy (w. 974 H)[29] , al-Munawy[30] dan ar-Rumy (w. 1043 H)[31] juga menyampaikan keterangan senada.
Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan ngalap berkah darinya atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.[32] Namun, yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibn al-Mundzir (w. 319 H).[33]
Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berikut menunjukkan bolehnya hal itu,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: “مَاتَ”. قَالَ: “أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟”. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!”. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: “إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ”.
“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
‘Dia sudah meninggal’ jawab para sahabat.
‘Mengapa kalian tidak memberitahuku?’
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut.
Beliau berkata, ‘Tunjukkan padaku di mana kuburannya?’
Setelah ditunjukkan beliau shalat atasnya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka.’” H.R. Bukhari (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim.
POIN KEDUA: BERDOA DI KUBURAN
Sebagaimana telah maklum bahwa doa merupakan salah satu ibadah yang amat agung dalam agama Islam. Allâh telah memotivasi umat manusia untuk memohon pada-Nya dan berjanji untuk mengabulkan permohonan mereka. Namun di lain sisi, Dia telah mensyariatkan berbagai adab dalam berdoa. Di antaranya: menentukan tempat dan waktu pilihan, yang lebih mustajab.
Namun, setan berusaha menyesatkan para hamba dengan mengiming-imingi mereka tempat dan waktu yang diklaimmustajab, padahal tak ada petunjuk agama tentangnya. Tidak sedikit manusia yang terjerat ranjau tersebut. Sehingga mereka lebih memilih berdoa di kuburan dan tempat-tempat keramat, dibanding berdoa di masjid. Lebih parah lagi, ada yang begitu khusyu’ menghiba dan memohon kepada sahibul kubur! Alih-alih mendoakan si mayit, malah berdoa kepadanya!
Dalil yang menunjukkan bid’ahnya menyengaja berdoa di kuburan untuk diri peziarah:
Pertama: Doa merupakan salah satu ibadah mulia, dan sebagaimana telah maklum bahwa ibadah apapun tidak akan diterima Allâh kecuali jika memenuhi dua syarat; ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.
Andaikan berdoa di kuburan merupakan ibadah, mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengajarkannya kepada umat? Kenapa pula para salafus salih tidak mempraktikkannya? Tidak ada dalil dari Alquran, maupun hadits sahih yang menunjukkan bahwa kuburan merupakan tempat favorit untuk berdoa. Ditambah dengan begitu banyaknya kitab yang ditulis para ulama guna menjelaskan adab berdoa, tidak ada satupun di antara salafus salih dan ulama yang mu’tabar yang mengatakan disyariatkannya berdoa di kuburan.
Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut adalah bid’ah. Andaikan itu baik, niscaya mereka ada di garda terdepan dalam mempraktikkannya.
Kedua: Usaha para sahabat untuk melarang praktik doa di kuburan dan segala sesuatu yang bisa mengantarkan ke sana. Berikut fakta nyatanya:
a. Para sahabat “ketika menaklukkan negeri Syam, Irak dan yang lainnya, jika menemukan kuburan yang dituju orang-orang untuk berdoa di situ, mereka akan menutupnya.”[34]
b. Para sahabat ketika menaklukkan Baitul Maqdis, mereka tidak bergegas untuk menuju makam Nabi Ibrahim‘alaihiwssalam atau nabi lainnya, guna berdoa atau shalat di situ. Begitu pula para ulama salaf sesudah mereka berbuat. Imam Ibn Waddhah (w. 286 H) menerangkan, Sufyan ats-Tsaury (w. 161 H) jika masuk masjid Baitul Maqdis, beliau shalat di dalamnya. Dan beliau tidak menuju situs-situs itu ataupun shalat di sana. Begitu pula praktik para imam panutan selain beliau. Waki’ (w. 197 H) juga pernah mendatangi Masjid Baitul Maqdis, dan yang dilakukannya tidak lebih dari apa yang dilakukan Sufyan. Hendaklah kalian mengikuti para imam yang telah makruf. Orang terdahulu bertutur, “Betapa banyak praktik yang hari ini dianggap biasa, padahal dahulu dinilai mungkar. Disukai, padahal dulu dibenci. Dianggap taqarrub, padahal justru sejatinya menjauhkan (pelakunya dari Allâh). Setiap bid’ah selalu ada yang menghiasinya.”[35]
c. Para sahabat ketika menaklukkan kota Tustur dan mendapatkan jasad Nabi Danial ‘alaihissalam, mereka menggali tiga belas liang kubur di berbagai tempat, lalu memakamkan Danial di salah satunya di malam hari. Setelah itu seluruh kuburan tersebut disamakan, agar orang-orang tidak tahu manakah makam beliau.[36]
Ketiga: Para ulama salaf membenci tindak menyengaja berdoa di kuburan dan menilainya sebagai bentuk bid’ah. Berikut buktinya:
a. Diriwayatkan bahwa suatu hari Zainal Abidin (w. 93 H) melihat seseorang masuk ke salah satu pojok di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam lalu berdoa di situ. Zainal Abidin pun memanggilnya seraya berkata, “Maukah kuberitahukan padamu suatu hadits yang aku dengar dari bapakku,  dari kakekku, dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Beliau bersabda, “Janganlah kalian jadikan kuburanku ‘ied (tempat yang dikunjungi rutin secara berkala) dan rumah kalian kuburan. Bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada”.[37]
b. Suhail bercerita bahwa di suatu kesempatan ia datang ke makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam pada beliau. Saat itu al-Hasan bin al-Hasan (w. 97 H) sedang makan di salah satu rumah Nabishallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau memanggilku dan menawariku makan. Namun aku tidak makan. Beliau bertanya, “Mengapa aku tadi melihatmu berdiri?”. “Aku berdiri untuk mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam” jawabku. Beliau menimpali, “Jika engkau masuk masjid, ucapkanlah salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Sesungguhnya beliau telah bersabda, “Shalatlah di rumah dan jangan kalian jadikan rumah seperti kuburan. Allâh melaknat kaum Yahudi, lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi mereka menjadi masjid. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada.”[38]
Dua atsar di atas menunjukkan bahwa menyengaja memilih makam Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai tempat berdoa, termasuk tindak menjadikannya sebagai ‘ied. Dan ini terlarang. Cermatilah bagaimana tabi’in paling afdhaldari kalangan Ahlul Bait; Zainal Abidin, melarang orang yang menyengaja berdoa di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam, dan berdalil dengan hadits yang ia dengar dari bapaknya dari kakeknya. Beliau tentu lebih paham akan makna hadits tersebut, dibanding orang lain. Begitu pula keponakannya; al-Hasan bin al-Hasan; salah satu pemuka Ahlul Bait memahami hal serupa.
Keterangan di atas bersumber dari Ahlul Bait dan penduduk kota Madinah. Nasab dan tempat tinggal mereka lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka jelas lebih cermat dalam memahami permasalahan ini, karena mereka lebih membutuhkan ilmu tentang itu dibanding yang lainnya.[39]
c. Di antara fakta yang menunjukkan bahwa ulama salaf menilai tindak menyengaja berdoa di kuburan termasuk bid’ah, mereka telah menyatakan bahwa jika seseorang telah mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di makamnya lalu ingin untuk berdoa untuk dirinya sendiri, hendaklah ia berpaling dan menghadap kiblat serta tidak menghadap makam beliau. Dan ini merupakan pendapat empat imam mazhab dan ulama Islam lainnya.[40]
Padahal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mulia. Bagaimana halnya dengan makam selain beliau yang kemuliaannya jauh di bawah beliau??!
Abul Hasan az-Za’farany (w. 517 H) menerangkan, “Barangsiapa bermaksud mengucapkan salam kepada mayit, hendaklah ia mengucapkannya sambil menghadap ke kuburan. Jika ia ingin berdoa hedaklah berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat.”[41]
Keempat: Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melarang shalat di kuburan atau menghadap ke arahnya. Hikmahnya agar orang tidak terfitnah dengan kuburan. Doa di kuburan lebih pantas untuk dilarang, sebab peluang untuk menimbulkan fitnahnya lebih besar.
Orang yang berdoa di kuburan dalam keadaan terpepet karena dililit masalah besar dan begitu berharap untuk dikabulkan, lebih besar peluangnya untuk terfitnah kuburan, dibanding orang yang shalat di situ dalam keadaan sehatwal afiat. Karena itu harus lebih dilarang agar orang tidak terjerumus ke dalam penyimpangan.[42]
Kelima: Di antara kaidah syariat yang telah disepakati para ulama; kaidah saddu adz-dzarâ’i’ (mencegah timbulnya kerusakan dengan menutup pintu yang menghantarkan kepadanya). Dan berdoa di kuburan sebagaimana telah maklum bisa mengantarkan kepada tindak memohon kepada sahibul kubur, dan ini merupakan kesyirikan. Jadi pintu yang menghantarkan ke sana harus ditutup rapat-rapat.[43]
Berbagai jenis orang yang berdoa di kuburan dan hukum masing-masing:
Doa di kuburan ada beberapa jenis:
Pertama: Doa untuk meminta hajat kepada sahibul kubur, entah itu nabi, wali atau yang lainnya. Ini jelas syirik akbar. Allâh Ta’ala memerintahkan,
وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ
Artinya: “Mohonlah pada Allâh sebagian dari karunia-Nya.” Q.S. An-Nisa’: 32.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mewanti-wanti,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه
Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allâh. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allâh.” H.R. Tirmidzi (hal. 566 no. 2514 dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Imam Ibn Abdil Hadi (w. 744 H) menerangkan bahwa berdoa memohon kepada selain Allâh hukumnya adalah haram dan dikategorikan syirik, berdasarkan ijma’ para ulama.[44]
Kedua: Menyengaja datang ke kuburan hanya untuk berdoa di situ, atau untuk ziarah kubur plus berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di situ lebih mustajab, karena keistimewaan yang dimiliki tempat tersebut. Berdoa di situ lebih afdal dibanding berdoa di masjid atau rumah.
Potret ini mengandung unsur kesengajaan memilih kuburan sebagai tempat untuk berdoa. Dan ini tidak akan dilakukan melainkan karena dorongan keyakinan akan keistimewaan tempat tersebut dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki peran dalam menjadikan doa lebih mustajab. Karena itulah jenis kedua ini menjadi terlarang dan dikategorikan bid’ah.
Tatkala berbicara tentang hukum shalat di kuburan, Imam as-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[45]
Ketiga: Berdoa di kuburan karena kebetulan, tanpa menyengaja. Seperti orang yang berdoa kepada Allâh di perjalanannya dan kebetulan melewati kuburan. Atau orang yang berziarah kubur terus mengucapkan salam kepada sahibul kubur, meminta keselamatan untuk dirinya dan para penghuni kubur, sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Jenis doa seperti ini diperbolehkan. Hadits yang memotivasi untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur menunjukkan bolehnya hal itu.
Dalam hadits Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ’anhu disebutkan,
أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
Aku memohon pada Allâh keselamatan untuk kami dan kalian.” H.R. Muslim (II/671 no. 975).
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ’anha disebutkan,
وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ
Semoga Allâh merahmati orang-orang terdahulu kami dan yang akan datang.” H.R. Muslim (II/671 no. 974).
Doa yang tidak ada unsur kesengajaan biasanya pendek, sebagaimana disebutkan dalam dua hadits di atas.
Jika ada yang ingin mempraktikkan doa jenis ketiga ini, sebaiknya ia mencukupkan diri dengan doa dan salam yang diajarkan dalam sunnah dan tidak menambah-nambahinya. Karena para ulama salaf membenci berdiam lama di kuburan.
Imam Malik (w. 179 H) berkata, “Aku memandang tidak boleh berdiri untuk berdoa di kuburan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun cukup mengucapkan salam lalu berlalu.”[46]
Wallahu ta’ala a’lam.